Money. Money. Money. Huahhhhh… denger kata itu bikin nyesek. Banyak banget pengeluaran, aku harus belajar fiscal management, harus hemat, harus prihatin, deelel.
Kalau aku total, uang saku aku pas SHS masih jauh lebih banyak dari sekarang deh, makan, uang iuran sekolah semua dari orang tua, jadi uang saku aku yang Rp 12.000,- per hari utuh buat jajan ama ongkos. Tapi sekarang?
Aku dikasih uang saku Rp 600.000 buat 2 bulan, BAYANGKAN! Iuran, ongkos, dan sebagainya udah termasuk di dalamnya.
Tapi yaa, aku prihatin sih, kalau makan aku masak nasi trus temennya ama abon atau mustofa yang dikirim orang rumah, paling untuk melengkapi gizi yang seimbang, aku ga pernah absen minum susu, jadi uang saku aku cuma abis buat iuran, ongkos, dan kepentingan yang tidak terduga.
Biasanya aku ga suka jajan, cuma sekali-kali, itupun paling banter beli ramen yang Rp 25.000,-.
Jadi sebulan biasanya aku menghabiskan Rp 200.000,- dan masih bisa nabung Rp 100.000 per bulan, aku nitipin uang ke mamahnya temen, buat simpanan, kalau tabungan kan lupa, tahu-tahu uda menggunung aja, amin.
Simpanan buat melanjutkan S1 ke UI amin hehehehe. Alhamdulillah yah, sesuatu! Be pesyen, Riska!
Inget pas seminar, katanya orang pinter ketika dihadapkan pada posisi yang sama kek aku, “keterbatasan budget”, maka ia akan menghemat, sedangkan orang kreatif akan mencari tambahan, misalnya dengan jualan.
Sempet sih kepikiran seperti itu, tapi keknya schedule aku terlalu padat, aku hanya melihat sedikit celah tapi aku yang memang seorang pengecut tidak cukup berani untuk menerobosnya.
Yeahh, aku akan tetap bertahan dengan kondisi seperti ini.
Seseorang yang belum pernah merasakan pahit, tidak akan pernah tahu rasanya manis. Prihatin? Hemat? Kalau aku bisa, kenapa enggak?
0 komentar:
Posting Komentar