Kamis, 29 November 2018

Komunikasi Pasutri Menuju Baiti Jannati

Memasuki usia dewasa muda, rata-rata manusia mulai membangun mahligai rumah tangga. Berbagai motivasi saat memutuskan menikah di antaranya: karena rasa cinta, untuk membahagiakan orang tua, faktor ekonomi dsb. Namun, motivasi terbaik adalah untuk beribadah.
Ketika seseorang menikah, berarti dia telah menyempurnakan setengah agamanya. Maka bertakwalah kepada Allah pada setengah sisanya (H.R. Baihaqi)

Tapi, pada kenyataannya, membangun rumah tangga tidak selalu seindah dan semudah yang kita bayangkan. Bukan kisah Cinderella yang di akhir cerita ditutup dengan: "Mereka pun hidup bahagia selamanya." Justru pernikahan adalah awal dari perjalanan panjang yang penuh dengan perjuangan. Kunci kesuksesannya menurut Brubaker (1983) lekat sekali dengan bagaimana pasangan saling komunikasi, membuat keputusan bersama, dan mengelola konflik.

Hubungan pasutri harus selalu dirawat, seperti tanaman yang perlu disiram dan dipupuk, mencintai pun adalah kata kerja aktif, sehingga terus menerus harus diperjuangkan.

Sayang sekali banyak pasangan yang gagal mengelola 3 hal tersebut, sehingga mengakibatkan empty marriage atau pernikahan yang hampa, dan tidak jarang berujung dengan perceraian. Banyak pernikahan yang hanya menjadi status belaka, tetapi hati masing-masing tetap kosong dan sama-sama merasa kesepian.

Pentingnya berlatih komunikasi yang efektif dengan menggunakan bahasa cinta agar hubungan suami istri tetap terawat. Pada akhirnya, meluruskan niat menikah hanya karena Allah akan membuat segala yang diupayakan tidak terasa terlalu berat. Mari belajar lagi komunikasi dengan pasangan kita demi menuju baiti Jannati.

Meski sudah tinggal seatap untuk sekian tahun lamanya, bisa jadi suami masih jadi sosok mystery guest dalam hidup kita. Makanya sering terjadi cekcok, atau bahkan sibuk dengan pikiran masing-masing (empty marriage).

Berikut ini beberapa tahapan berkomunikasi yang menentukan perkembangan suatu hubungan:

Tahap 1: Inisiasi
Seseorang akan mulai mengenal dan menyesuaikan respon dengan lawan bicaranya. Seringkali tahap pertama ini hanya mencoba mengenali bahasa noverbalnya saja. Pesan nonverbal itu cenderung ditangkap lebih kuat daripada pesan verbal.

Albert Mehrabian memperkenalkan kaidah 7-38-55
7% => kata-kata (verbal)
38% => intonasi suara
55 => bahasa tubuh (nonverbal)

contoh: cara berpakaian, ada ibu yang bicara keprihatinan terhadap rakyat miskin tapi perhiasan emasnya berderet di lengan, kira-kira sampaikah pesannya? Coba kenali dan simak pesan tersirat dari lawan bicara kita agar tepat dalam bereaksi.

Tips:
Agar bisa mengatur bahasa nonverbal, maka perlu mengatur emosi yang kaitannya dengan nalar, karena emosi naik => nalar turun, emosi turun => nalar naik.

Tahap 2: Eksplorasi
Ketika kita mulai menjalin komunikasi, kita akan menggali lebih dalam lagi tentang lawan bicara kita. Apa yang dia sukai atau tidak.

Ada kisah, tentang Syuraih Al Qadhi dengan istrinya Zainab binti Hudair. Di hari pertama mereka berkumpul, bahkan sebelum Syuraih menyentuhnya, Zainab langsung menanyakan hal-hal apa yang dia sukai dan apa yang tidak disukainya. Sebagai istri dia langsung ingin mengenal perangai suami agar lebih tepat dalam memperlakukan suaminya. Dengan khidmat yang baik dari Zainab ke suaminya, maka suaminya pun memperlakukan Zainab dengan baik. Akhirnya, itu menjadi kunci rumah tangga mereka yang sakinah hingga seterusnya.

Seseorang memiliki FoR (Frame of Reference), yaitu cara pandang, keyakinan, konsep, dan tata nilai yang dianut. Berasal dari pendidikan, keluarga, pergaulan, buku bacaan, dll. Juga memiliki FoE (Frame of Experience), yaitu serangkaian kejadian yang dialami seseorang, yang dapat membangun emosi dan sikap mental seseorang.

FoR dan FoE ini akan mempengaruhi bagaimana seseorang menangkap pesan yang disampaikan kepadanya. Misal: suami yang kurang kasih sayang dari orangtuanya dulu bisa jadi menumbuhkan sikap yang sama terhadap anak istri, jadi tidak hangat, tertutup, sulit mengekspresikan kasih sayang. Alih-alih menyalahkan, istri bisa merangkul dan menunjukkan ekspresi kasih sayang yang tulus secara konsisten hingga perlahan melunakkan hatinya.

Tahap 3: Intensifikasi
Mulai lebih intens dalam berkomunikasi. Antar pasangan sudah lebih mengenal baik verbal maupun nonverbalnya, apa kecenderungan pasangan dan sebagainya.

Biasanya dalam tahap ini mulai tersusun aturan tertulis atau tidak tertulis tentang pola komunikasi yang bisa diterapkan sebagai hasil pembelajaran kita dalam mengenal pasangan. Tapi ternyata dalam tahapan ini, konflik mulai sering terjadi akibat perbedaan nilai-nilai dan kebiasaan. Bisa jadi memasuki tahap ini hubungan semakin renggang, atau malah lebih erat.

Sebagian dari kita mungkin merasa sudah mengenali suami bila dulu sempat pacaran sebelum menikah. Padahal belum tentu! Saat dua orang berbagi berbagai aspek hidup dalam rumah tangga, pasti akan ditemukan hal yang tidak sejalan.

Makanya, kembali lagi pada niat, bila keduanya menetapkan niat untuk beribadah, In Syaa Allah lebih mudah menyelaraskan ritme dan prinsip-prinsip dalam rumah tangga.

Tahap 4: Formalisasi
Bila pada tahap sebelumnya hubungan malah jadi menurun kualitasnya karena banyak konflik yang tidak teratasi, bukan tidak mungkin berujung pada perpisahan. Tapi bagi yang hubungannya semakin intens, maka akan masuk ke tahap formalisasi, ketika aturan atau pola yang diciptakan menjadi ajeg dalam suatu hubungan.

Tahap 5: Penyesuaian Terus Menerus
Meskipun sudah melewati tahap formalisasi, bukan mustahil kita harus kembali eksplorasi lagi, karena manusia berubah, lingkungan berubah,  atau bisa juga karena kita mendapatkan fakta baru lagi tentang pasangan kita.

Konflik tidak perlu dihindari, menghindari konflik justru membuat hubungan menjadi tidak sehat, karena adanya kekecewaan yang dipendam satu sama lain. Namun sebaliknya, sebaiknya kita mengelolanya dengan kepala jernih dan fokus hanya pada solusi, bukan fokus pada menyalahkan siapa-siapa.

Nah, kita sudah belajar untuk membenci perilaku yang keliru, bukan membenci orangnya, karena kita pun pasti sering salah, inginnya dikoreksi tanpa dihakimi kan? Dibantu untuk memperbaiki bukan dijatuhkan atau disudutkan. Menghadapi konflik dengan baik nantinya akan memberi kesempatan untuk mengenal pasangan lebih jauh dan meningkatkan kualitas hubungan.

Kita lihat bagaimana Rasulullah mencari Khadijah untuk diselimuti ketika syok pertama kali didatangi Jibril. Atau contoh paling dekat, bagaimana Pak Habibie bahkan bingung dengan jadwal minum obatnya atau dimana menaruh sendalnya selepas bu Ainun pergi.

Jadikanlah kita sebagai istri menjadi "rumah" yang nyaman dan selalu dirindukan suami untuk pulang dan beristirahat.

Kalau sudah nyaman tentram loh jinawi hatinya, ketika ingin menyampaikan maksud, maka pastikan tidak dengan bahasa yang bertele-tele.

Menurut salah satu pakar psikologi, Bunda Elly, laki-laki paling efektif menangkap 15 kata saja dalam satu kalimat inti. Jadi berlatih sampaikan maksud dengan ringkas, simple dengan bahasa mudah dimengerti.

Pakai prinsip clear and clarify yaitu memberi kesempatan pasangan untuk bertanya, dan memastikan maksud kita tersampaikan dengan baik. Bila tidak mendapat tanggapan yang sesuai harapan, tunggu, jangan mendesaknya. Mungkin perlu atur lagi di lain waktu karena bisa jadi ada prioritas lain di benaknya saat ini.

Jangan lupa juga, dia adalah imam kita, tidak semestinya makmum mendahului imam kan? Mengingatkan imam dalam sholat pun ada adabnya. Bukan serta merta teriak "woy salah!" atau menepuk punggungnya kan?

Jadi, pakailah adab di kala mengingatkan, jaga kehormatan dan wibawanya. Sampaikan rasa terimakasih dan penghargaan kita akan kebaikannya terlebih dahulu, baru sampaikan keberatan kita akan sesuatu hal.
Hindari kata-kata: "kamu SELALU aja gamau peduli sama perasaan aku!"
Kata SELALU itu artinya tidak sekalipun alpha loh, apa betul begitu? Atau itu hanya desakan dari hati yang sedang kesal? Kita sering tidak sadar terjebak dengan kata SELALU.

Atau...

"Kamu tuh nyuekin aku tau gak?"
Beda loh rasa kalimatnya dengan "AKU KADANG MERASA, sedang dicuekin sama kamu."
Bisa lihat kan perbedaannya?

Kalimat pertama adalah penilaian terhadap pasangan kita (padahal bisa jadi dia tidak berniat mencuekkan kita).
Kalimat kedua bermakna penilaian terhadap diri sendiri yang merasa dicuekkan. Maka lawan bicara pun tidak serta merta merasa diserang.

Dalam Al-Qur'an surat Al Baqarah ayat 187 disebutkan, yang artinya "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu, mereka adalah pakaian bagimu dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu."

Sebagaimana fungsi pakaian, tugasnya adalah menutupi keburukan. Lalu apakah curhat tidak boleh? Boleh saja, hanya pada orang yang memiliki keilmuan untuk membantu carikan solusi, atau minimal bisa mengingatkan pada kebaikan, bukan mengompori.

 

Referensi:

Diane E. Papalia, Sally Wendkos Olds, Ruth Duskin Feldman. Human Development. New York: McGraw-Hill, 2001.

Ruben, Brent D. Communication and Human Behavior. Rutgers University. New Jersey: Prentice-Hall.inc, 1992.

Ummu Ihsan, Abu Ihsan al-Atsari. Surat terbuka untuk para istri. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi'i, 2014.

Materi Bunda Sayang level 1 "Komunikasi Produktif" Ibu Profesional.

Al-Kandahlawi, Maulana Muhammad Zakariyya. Fadhail Amal Bab: Kisah Sahabiyah. Ash-Shaff, 2009.

 

Materi kulwap Komunikasi Pasangan Menuju Baiti Jannati oleh Diana Amalia Zein, yang diselenggarakan rumlit IP BEKASI.

2 komentar:

  1. waaah iya penting banget belajar cara komunikasi. Kok ya di sekolah ga sedetail ini ya. Jadi ingat matrikulasi IIP
    Salam,
    Helenamantra dot com

    BalasHapus
  2. Iya bersyukur tiada henti bertemu dgn komunitas IIP ya bun... Ini tak rangkum dari kulwap rumlit ip bekasi, mereka promo buku baity jannatinya via kulwap, keren..

    BalasHapus