Setelah setahun lebih kami kenal lewat chatting, akhirnya kami, aku dan abang sampai pada titik pertemuan itu.
Dia mengajakku mendaki Gunung Ciremai, gunung tertinggi di Jawa Barat.
Awalnya kami berencana untuk mendaki Gunung Gede, Cibodas, tapi berhubung jalur ditutup karena ada pelestarian flora, kami pun beralih ke Gunung Ciremai, gunung termegah yang ada di daerahku, Majalengka.
Sempat terjadi dilemma, mengingat aku adalah newbie, teman-temannya menyarankan agar kami mendaki gunung yang lebih enteng dan lebih indah, Gunung Merbabu di Jawa Tengah.
Tapi atas dasar pertimbangan satu dan lain hal, juga karena akomodasi yang tidak memungkinkan, akhirnya kami memutuskan tetap mendaki Gunung Ciremai.
Gunung Ciremai ini memiliki 3 jalur pendakian, Linggar Jati, Palutungan, dan Apuy.
Linggar jati merupakan jalur yang paling sulit berada di daerah kuningan, dan apuy di daerah Maja, Majalengka.
Gegabah kami memutuskan akan mendaki melalui jalur Linggar Jati, tapi kemudian kembali labil dan memutuskan untuk melalui jalur Palutungan.
Dia tiba di Bandung sekitar jam 9 a.m., 29 Agustus 2012, bertepatan dengan PPSM (Pengenalan Program Study Mahasiswa) hari terakhir.
Aku bolos demi menemuinya. Aku menjemputnya di Terminal Leuwi Panjang dengan pakaian seadanya, setelan training dan kaos dibalut dengan Jaket Analis yang udah kumel. How nyentrik I am!
Ketika sampai di kosan, di luar perhitungan, ternyata ada D4, maka dia pun jadi agak canggung.
Setelah istirahat beberapa lama, sorenya kami belanja ke Borma dengan jalan kaki, padahal jarak dari kosan lumayan jauh. Aku tidak menguasai medan akhirnya kami berputar-putar mencari barang-barang yang kami perlukan.
Ketika orang lain hanya membawa botol aqua kosong dan mengisinya di pos yang kebetulan ada mata air, kami membawa persediaan air dari supermarket, benar-benar pendaki elit.
Tidak lupa kami pun tidak melewatkan moment yang tidak boleh tertinggal ketika mengunjungi Gunung Batu yaitu makan bubur ayam pak Sunar.
Malamnya kami menonton film yang aku sutradarai, tugas akhir pas SMA. Aku tahu dia kelelahan, setelah menempuh perjalanan jauh Jakarta-Bandung selama 3 jam, jalan kaki belanja ke Borma, belum lagi baru kembali dari Gunung Sindoro-Sumbing.
Pukul 11 p.m. aku membiarkannya istirahat di tempat tidurku yang empuk dan nyaman, sementara aku mengungsi ke kamar Teh Aah.
Aku lupa menghabiskan waktu berapa lama dan untuk apa pagi itu sebelum kami berangkat ke pasar Cibogo untuk membeli barang-barang yang belum kami dapatkan.
Kami berjalan beriringan sambil merasakan udara pagi yang sejuk, pulangnya kami sarapan kupat tahu yang menurutnya sesuatu yang perlu diabadikan karena beda dengan kupat tahu yang ada di Jakarta.
Di tengah perjalanan kami pun membuat sebuah bukti historis bahwa kami pernah jalan bersama di tempat itu.
Sampai di kosan kami pun packing, dan tangannya yang seperti bersisik begitu lincah mengepak barang-barang ke dalam tas keril 70 liter yang di-up sampe 100 liter.
Kemudian pukul 10 a.m. kami berangkat ke terminal Cicaheum, mengejar keberangkatan bis Damri Kuningan yang berangkat jam 11 a.m., tapi ternyata perjalanan menuju Cicaheum cukup memakan waktu sampai jam 12 a.m.
Hopeless karena berdasarkan informasi yang diberikan salah satu pedagang di sana, Damri baru akan berangkat jam setengah 3, itu berarti kami kami punya waktu 2,5 jam sia-sia.
Ketika si abang pergi ke toilet, aku beristirahat sejenak di sebuah bangku kosong depan dua orang ibu-ibu matang penjual kaki lima.
Kami pun berbincang-bincang kecil dan beliau menyarankan agar kami mengecek sekali lagi jadwal pemberangkatan bis.
Kami menurutinya dan Alhamdulillah ada mobil yang 5 menit lagi akan berangkat. Kami sangat bersyukur, dan sebagai ucapan terima kasih aku pun kembali turun menemui pedagang tadi untuk membeli goreng tempe yang dijualnya.
Kami berdua duduk di kursi paling belakang bis, ditemani seorang wanita tanggung di ujung yang berlawanan.
Kami membunuh rasa suntuk selama perjalanan dengan bernyanyi riang, aku baru tahu dia suka banget backsound Sinchan, film kartun era abad 20.
Ongkos dari terminal Cicaheum Bandung menuju kuningan 45k.
Ada sedikit ketidakpercayaan diri karena kami berdua sama-sama baru pertama kali ke kuningan, kami yang seharusnya turun di Cirendang, malah mengikuti saran pak kenek dengan turun di terminal Ancaran.
Di sana kami diberondong oleh para tukang ojek yang sepertinya sedang sepi penumpang. Mereka menawarkan jasa untuk mengantar kami sampai ke palutungan dengan upah 50k.
Setelah berdebat panjang akhirnya ongkos turun jadi 30k.
Menurut teh Aah dari Ancaran kami bisa naik angkot 010 dengan harga 2k sampai kota, kemudian naik angkot lagi sampai cigugur 2k, dari sana bisa naik ojek menuju palutungan dengan harga yang sudah dilobi bisa sekitar 20k.
Singkat cerita, kami pun sampai di camp tempat para pendaki ditampung sebelum/sesudah mendaki.
Kami bertemu dengan anak-anak Uniku yang baru turun setelah mengibarkan bendera merah putih di Ciremai.
Dan menurut informasi akan ada pendakian selanjutnya untuk mengibarkan batik dalam rangka hari jadi kota kuningan 1 September.
Malangnya kami tidak mengikuti salah satu pun acara tersebut. Kemudian kami mendaftarkan nama kami, di sini hanya ditanya nama dan alamat lengkap tanpa harus menyerahkan fotokopian KTP.
Kami membayar biaya administrasi sebesar 10k per-orang.
Setelah dipersilakan, kami pun istirahat, aku tepar duluan keknya, jam 11 p.m. aku terbangun, melihatnya masih belum tidur dan ada sarung yang menyelimutiku.
Aku mengajaknya untuk tidur kemudian dia merebahkan dirinya di sampingku. Jam 12 p.m. aku kembali terbangun oleh kehadiran pendaki dari Jakarta yang baru turun, mereka bertiga kehabisan air karena menolong pendaki yang kecelakaan dan kami pun berbagi logistic.
Mereka orang asing tapi seperti keluarga, kami mengobrol, ditraktir minum es teh, dan makan makanan ringan bersama, sampai perut kami penuh, dan salah seorang dari kami tepar, baru kami memutuskan untuk melanjutkan kembali tidur.
Menjelang pagi setelah melaksanakan shalat berjama’ah, kami pun memulai pendakian.
Kami bertemu dengan laki-laki yang sepertinya sudah haji, beliau mendo’akan kami dan memberi nasihat untuk berhati-hati.
Jalur dimulai dengan tanjakan jalan setapak, itu membuat energiku cepat sekali terkuras. Dan abang seolah mengerti keadaanku, kemudian mengajak break, di sana aku minum dengan rakus.
Kami berjalan seperti biasa, tidak memiliki target apakah harus sampai ketika sunset atau sunrise, harapan kami hanya bisa berada di puncak bersama-sama.
Kemudian kami sampai di Pos 1 – Cigowong setelah berjalan selama kurang lebih 2 jam kurang 5 menit.
Di sana kami mengambil air, mata air yang begitu sejuk, menyegarkan, menghapus lelah, menghapus dahaga, pokoknya benar-benar sangat menyenangkan.
Di sana kami bertemu dengan rombongan dari Garut, mereka berjumlah 11 orang dengan dua orang wanita di antaranya, hanya satu orang yang aku ingat dari mereka, namanya abang zebrag, orangnya lucu, ramah sekaligus menyebalkan hahaha.
Ketika kami bergabung, mereka sedang membuat sarapan. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan lebih dulu. Mereka melemparkan selentingan bahwa kami buru-buru karena ga sabar untuk foto prewedding di puncak hahaha.
Abang dengan jiwa photographernya mengabadikan perjalanan kami dan hasil potretnya selalu memukau.
Kemudian kami pun sampai di Pos ke-2 yaitu Kuta. Sampai di pos ke-3 (Pangguyang Badak) kami bertemu kembali dengan para pendaki dari Garut. Tempat yang special karena di sini ketika kami break, kami saling nyanyi-nyanyi gaje.
Di ketinggian 2000 dapl kami sampai di pos ke-4 yaitu Arban. Kami break dengan para pendaki dari Garut, sempet heboh karena ada plang “Jangan Bicara Sembarangan”, dan itu langsung jadi bahan guyonan para pendaki dari Garut.
Dalam perjalanan ini, aku jarang sekali merasa lapar, mungkin asupan glukosa dari air manis yang aku bawa cukup untuk membuat staminaku awet.
Tapi ketika akhirnya perutku protes, abang membuatkanku mie instan. Seharusnya aku yang masak tapi aku belum terbiasa menggunakan kompor kecil dan misting seperti yang dilakukan abang.
Selain itu, kami pun tidak lupa selalu shalat berjamaah, walaupun dilakukan dengan menjamaknya. Cinta dan kasih sayang Allah membuat segalanya menjadi indah.
Waktu terasa sangat begitu lambat ketika kami mengejar pos Wallet untuk membuat camp. Dan kami pun akhirnya terjebak dalam kesunyian malam, berebut oksigen dengan para tumbuhan, belum lagi jalur pendakian yang mulai berbatu-batu, sangat terjal, dan berdebu.
Akhirnya kami memutuskan untuk mencari tempat yang datar untuk membuat camp. Bahu membahu kami membuat tenda, dan ketika kami rasa tenda sudah berdiri kokoh, kami pun langsung beristirahat.
Seperti biasa, lewat waktu subuh kami pun melanjutkan perjalanan, ternyata Pos Wallet berada tidak jauh di atas tempat camp kami. Kami menuju puncak dengan optimis, meninggalkan tenda dan hanya membawa barang-barang yang penting.
Finally, Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, itu kali pertama aku berada di puncak, berada jauh tinggi di atas awan, hanyut dalam pesona alam.
Aku merasa setiap jengkal tubuh bahkan nadiku merinding, dan aku pun bertasbih.
Hal yang membuatku semakin tercengang adalah ketika ada keluarga pendaki, anak kecil umur 4 tahun bisa sampai puncak bahkan jalur yang dilewatinya pun jalur Linggarjati, subhanallah.
Kemudian dengan lugunya abang menyampaikan mimpinya tentang harapan memiliki keluarga pendaki.
Sepertinya menyenangkan tapi mungkin aku ga bisa sampai hati membiarkan anakku kelelahan, kepanasan, kedinginan, dan makan seadanya.
Biarlah kami berdua saja yang mendaki jika memang kelak kami ditakdirkan untuk menyulam benang-benang asmara menjadi satu dalam ikatan yang diridhoi oleh Allah.
Entah sekitar pukul berapa, kami pun memutuskan turun melalui jalur apuy.
Jalur apuy licin dan berdebu, aku sampai harus memakai tongkat dari kayu untuk menjaga keseimbangan.
Dalam perjalanan turun ini kami beriringan dengan para pendaki dari Bandung dan banyak bertemu dengan pendaki lain dari luar kota.
Mengingat bawaan yang begitu banyak, tidak menyurutkan semangat si abang, dia dengan tabah terus membimbing jalanku, sampai suatu kesempatan aku hampir jatuh sementara dia sudah berada jauh di bawah, dia dengan gesitnya langsung berlari ke arahku dan melingkarkan tangannya di pinggangku. Hahaha ibarat hero, dia selalu siaga dan benar-benar membuatku tersanjung sebagai seorang wanita.
Di pos terakhir, malangnya kakiku keseleo dan ternyata lecet, bengkak pula. Perih, rasanya aku sudah ga sanggup untuk berjalan.
Sepanjang perjalanan aku membisu menahan rasa sakit, membiarkan si abang mengoceh sendiri, sekali lagi aku bersikap childish.
Dia dengan sabarnya tetap berjalan mengiringiku, menjajari langkahku yang pendek-pendek, berusaha mencairkan suasana dengan membuat berbagai conversation tapi kasihan aku ga bereaksi sama sekali gara-gara rasa sakit itu hahaha.
Sampai akhirnya kami sampai di pemukiman warga, ternyata banyak pendaki lain yang sudah tiba duluan dan menunggu kami. Memanjakan perut kami yang selama beberapa hari itu diisi mie kami pun membeli bakso dan es kelapa muda.
Kemudian kami membuat kesepakatan dengan anak PA asal kuningan yang bersedia mengantar kami sampai Cileunyi dengan membayar ongkos sebesar 20k naik mobil bak.
Sumpah punggung rasanya sakit banget, bahkan si abang yang ga pernah mengeluh pun saat itu mengeluhkan rasa sakit si punggungnya.
Pukul 12.00 am kami sampai di Cileunyi dan menuju perhentian bis yang entah apa namanya tapi ternyata bis baru mulai operasi lagi sekitar pukul 3.00 am.
Di sana aku, abang, dan para pendaki yang dari Bandung mulai galau. Kekeluargaan benar-benar terasa di sini, entah kenapa rasa nyaman itu menyelinap ketika aku bersama mereka, terlebih karena abang di sampingku dan aku tahu dia selalu berusaha untuk menjagaku bahkan dari dirinya sendiri.
Akhirnya kami memutuskan untuk mengeteng angkot. Dan untuk menuju cimahi kami membayar 50k untuk 4 orang.
Kami diantar sampai jembatan gunung Batu dan melanjutkan perjalanan ke kosan dengan berjalan kaki. Pegal di tubuh sudah sangat akut, tapi harapan untuk cepat sampai di kosan memberikan semangat baru yang aneh.
Dan aku masih bisa membeli nasi goreng untuk makan kami bersama, walaupun harus naik turun tangga yang tingginya setinggi tower :p
Esoknya sampai ketika kami harus berpisah. Rasanya seperti kehilangan seseorang yang sudah hidup lama denganmu, menjadi bagian dari hari-harimu, benar-benar nyesek.
Tapi janji bahwa akan ada lain kali untuk bertemu memberiku harapan. Dan novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu menjadi pengikat janji kami. Semoga kita bisa melewatkan waktu bersama secepatnya. 5 hari yang terlalu indah, terlalu menyakitkan untuk bisa kembali ke realita bahwa itu sudah berakhir.