Senin, 14 September 2020

Refleksi dalam Setiap Kesempatan

Semua mata tampak menatap geram terhadap sinetron di salah satu stasiun televisi. Meski ceritanya kadang di luar nalar tapi suguhan tayangan tersebut tetap menghibur terutama ketika salah satu sepupu saya berkata,

"Mamang ketemu Tante Riska di Indosiar, ya?"

Semua orang tergelak ketika mendengar celotehannya, lantas saya bertanya,

"Memangnya kenapa, can?"

Ibunya yang tak kalah geli pun ikut menanggapi, "Mamang sama Tante Riska ketemu di Gunung, emang kenapa sih?"

"Soalnya Tante Riska sabar banget, kata Ibu aku kalau mau istri yang sabar, cari aja di Indosiar."


Kontan semua tertawa. Perut saya pun sampai sakit karena tertawa. Begitu polosnya pemikiran seorang anak kecil. Suasana menjadi begitu hangat oleh gelak tawa sampai ada satu sahutan.

"Sabar apaan, orang di rumah marah-marah terus sama anaknya."


Deg.


Semua orang bingung menanggapi pernyataan tersebut. Suasana menjadi kaku dan canggung. Entah apa tujuan kakak ipar saya melontarkan kalimat tersebut. 

Hati saya yang tadinya merekah tiba-tiba seperti terkena rebound. Seolah ketika label sabar dilekatkan pada saya, justru di detik itu pula, Allah ingin menguji kesabaran saya XD


Ketika itu saya hanya menganggapnya angin lalu. Tapi ketika sampai di rumah, saya kembali terngiang oleh kalimat tersebut. Apakah iya kalau selama ini saya terlalu sering marah-marah terhadap anak? 

Karena siapapun bisa melihat semut di seberang lautan tapi tak dapat melihat gajah di pelupuk matanya. Saya pun muhasabah. 

Tapi satu hal yang berani saya klarifikasi, semarah apapun saya terhadap anak, saya selalu berusaha tetap menjaga intonasi dan tidak membentak anak-anak.


Dari kejadian tadi saya melakukan refleksi:

  1. Belajar untuk tidak merusak suasana, terutama ketika sedang berkumpul dengan keluarga besar, karena itu adalah moment untuk menguatkan bonding.
  2. Belajar untuk tidak hanya berbicara yang enak didengar tapi juga menyenangkan hati. Selain kalimat yang santun, membahagiakan orang lain dengan kalimat sederhana, selama bukan kebohongan yang mengada-ada itu tidak mengapa.
  3. Menasihati dikala sepi. Jika memang ada sesuatu yang salah pada saudara, pasangan, atau anak, ada baiknya kita menegurnya secara pribadi bukan ketika sedang berkumpul, karena bisa jadi itu menghinakan orang yang kita tegur.
  4. Selalu perbaiki manajemen emosi, karena orang yang sakit akan jauh lebih mudah marah dibanding orang yang sehat. Jika fisik kita baik, tapi kita mudah terpancing emosi, tanyakan kabar hati.
  5. Menata hati terhadap point of view orang lain. Tidak perlu terlalu overthinking terhadap apa yang orang lain katakan. Seperti hadits:

"Jangan menjelaskan dirimu terhadap siapapun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu, dan yang membencimu tidak akan percaya itu." (Ali bin Abi Thalib)

Atau reminding apa yang dikatakan oleh suami setiap diri ini merasa inferior, 

"It's okay, just be yourself!" 

Atau 

"Boleh sedih tapi ga boleh nyerah." 

Kalimat-kalimat itu selalu tertanam kuat di sanubari agar saya selalu bisa mencintai diri saya apa adanya dan selalu bangkit ketika keadaan tidak sesuai harapan, it's okay not to be okay, selama saya bisa kembali bangkit dan berjuang. 

Menjadi sedih, menjadi lemah, adalah hakikat manusia, karena hanya Allah Al Aziz dan Al Jabbar yang Maha Gagah dan Perkasa.


Cheer you up! ^^



#harike12

#tantangan15hari

#zona1komrod

#pantaibentangpetualang

#institutibuprofesional

#petualangbahagia








0 komentar:

Posting Komentar