Senin, 05 Oktober 2020

Melatih Kemandirian Anak: Menjaga Adik

Ketika Ibu terdesak kebutuhan untuk ke toilet sedangkan di rumah tidak ada orang untuk menjaga anak-anak, pasti bingung dan khawatir. Terlebih jika ada dua orang balita yang sedang aktif-aktifnya. 

Akhirnya walaupun usia si Abang baru tiga tahun, mau tidak mau Ibu menitipkan adik kepada Abang. 


Strategi yang saya ambil ketika menitipkan adik ke Abang diantaranya:

1. Memberi pengertian bahwa Ibu butuh pergi sementara waktu

Di usianya yang menginjak 3 tahun, Abang sudah bisa menangkap instruksi dengan baik. Jadi ketika saya butuh pergi ke toilet atau melakukan aktivitas apapun, hal pertama yang saya lakukan adalah memberitahu Abang, sekaligus meminta izin atau tolong. 

2. Memberikan Kepercayaan dan Tanggung Jawab pada Abang

Memiliki dua orang anak laki-laki dengan rentang usia yang tidak begitu jauh, membuat khawatir. Tapi saya berusaha mempercayai Abang, dengan mengatakan kepadanya, bahwa saya sangat mengandalkannya untuk menjaga Adik ketika Ibu pergi, walau hanya ke toilet. Ketika merasa dibutuhkan atau dipercaya, Alhamdulillah Abang menunjukkan optimisme dan kedewasaannya muncul. 

3. Memastikan Kondisi Aman

Ketika saya tidak bisa memantau anak-anak, saya berusaha memastikan keadaan aman, misalnya dengan mengunci pintu depan, supaya tidak ada orang lain yang masuk ketika saya di toilet. Juga menyingkirkan benda-benda yang berpotensi membahayakan anak-anak. 

4. Memberikan Mainan atau Makanan

Anak-anak biasanya aktif dan kreatif, tapi meskipun begitu, saya menyediakan mainan atau busy book dan buku-buku bacaan untuk mengalihkan perhatian mereka supaya tidak terlalu kehilangan ketika Ibu pergi. 

Tantangannya walaupun Abang sudah bisa diandalkan untuk menjaga Adik, tapi mereka masih sering berebut mainan. 

Abang yang sudah mengerti kepemilikan kadang merasa risih ketika Adik merebut mainannya. Akhirnya adik menangis karena keinginannya tidak terpenuhi, tapi kemudian jika melihat adiknya menangis, Abang akan mengalah dan memberikannya mainan. 


#harike4

#tantangan15hari

#zona2kemandirian

#pantaibentangpetualang

#institutibuprofesional

#petualangbahagia

Continue reading Melatih Kemandirian Anak: Menjaga Adik

Sabtu, 03 Oktober 2020

Melatih Kemandirian Anak untuk Makan Sendiri

Mengikhlaskan anak makan sendiri merupakan hal yang menantang, hal ini sudah lama kami lakukan tapi masih belum konsisten. 

Saya merasa kegiatan makan sendiri ini seharusnya sudah bisa dilakukan oleh Abang, tapi karena saya sering kali membatasi kesempatannya untuk makan sendiri, Abang jadi belum mahir. 

"Izinkan dia membiasakan diri!"

Kalimat tersebut selalu saya ucapkan sebagai pengingat ketika hati merasa berat. 

Tantangannya membiarkan anak makan sendiri adalah berantakan, makanan berserak dimana-mana, anak menjadi pilih-pilih makanan, hanya memakan makanan yang dia inginkan, tidak sabar untuk menyuapkan makanan ke mulut, sehingga mulutnya penuh, makanan diemut, dan akhirnya makanan dilepeh dan terbuang. 

Hal yang perlu dilakukan sebelum melatih anak makan sendiri adalah mengubah mindset, bahwa keadaan berantakan, kotor adalah proses belajar anak, proses untuk melatih skill, dan proses anak menjadi mandiri. 

Jadi, izinkan, relakan, ikhlaskan, membersihkan tempat yang kotor hanya butuh waktu beberapa menit saja, hal tersebut tidak sebanding dengan kekayaan ilmu dan pengalaman yang diperoleh anak. Biarkan anak merdeka belajar. Tapi mengubah mindset adalah hal yang tersulit dalam prosesnya. 


Selain itu strategi lain yang saya terapkan dalam melatih anak makan sendiri, diantaranya:

1. Menetapkan Jam Biologis Anak untuk Makan

Hal pertama yang saya lakukan adalah menetapkan jam berapa anak untuk makan pagi, siang atau sore. Dan itu dilakukan secara konsisten, sehingga lama kelamaan hal tersebut akan membentuk jam biologis anak merasa lapar. Maka di jam-jam tersebut kita bisa mengkondisikan persiapan untuk anak makan. 

2. Mengajak Berdo'a Sebelum dan Sesudah Makan



Ini adalah proses yang wajib dilakukan, melibatkan Allah dalam setiap aktivitas anak, agar anak mengenal Tuhannya, dan bisa bersyukur atas karunia-Nya. 

3. Membuat Variasi Makanan

Hal ini dimaksudkan agar anak tertarik untuk makan, dan juga bisa mengeksplorasi setiap rasa dari makanan baru. Sehingga diharapkan anak tidak picky eater 

4. Mempermudah Anak ketika Proses Makan



Saya biasanya membulat-bulatkan nasi kemudian di atasnya disimpan lauk atau sayur. Sehingga anak mudah untuk mengambilnya. Tapi Abang masih kesulitan, dia mengambil makanannya dengan telapak tangan bukan cuma jari. Jika makanannya berkuah, saya beri sendok kecil sesuai genggamannya agar anak mudah untuk menyuap. 

5. Membuat Suasana Makan Terasa Menyenangkan

Misalnya dengan menggunakan peralatan makan yang lucu atau karakter kartun yang disukai anak, tidak memaksa anak untuk menghabiskan makanannya, tidak mengomelinya ketika makanan berantakan. 

Intinya menghela nafas panjang ketika melihat tingkah ajaib anak, biarkan dia merdeka belajar juga memujinya karena bersedia makan sendiri. 


Perasaan saya ketika mengajari anak makan sendiri adalah gemas hehehe. Sedangkan respon anak sendiri, dia bahagia dan begitu berenergi untuk makan sendiri. Alhamdulillah semoga Abang semakin terlatih dan terbiasa melakukan satu persatu kegiatan memenuhi kebutuhannya sendiri. 


#harike3

#tantangan15hari

#zona2kemandirian

#pantaibentangpetualang

#institutibuprofesional

#petualangbahagia

Continue reading Melatih Kemandirian Anak untuk Makan Sendiri

Jumat, 02 Oktober 2020

Tips Mengajak Anak Merapikan Mainannya

Anak-anak sangat suka sekali bermain tapi tidak jarang mereka juga cepat sekali bosan. Sehingga mereka sering gonta-ganti mainan. 

Ketika pekerjaan rumah menumpuk, ditambah harus merapikan mainan anak-anak yang tiada habis-habisnya, dirapikan berantakan lagi, begitu terus. Nah, supaya moms tetap terjaga kewarasannya, dan tidak membatasi kreativitas anak-anak dengan melarangnya bermain, mari kita latih kemandiriannya dengan mengajaknya merapikan mainan sendiri. 

Berikut tips yang agar anak mau merapikan mainannya sendiri:


1. Menyiapkan space atau wadah khusus mainan si kecil di tempat yang mudah terjangkau. 

Dengan menyediakan tempat khusus mainan anak-anak, mereka bisa dengan mudah mengambil mainannya kapanpun mereka mau, dan terbiasa kembali merapikan mainannya. 

2. Menurunkan standar kerapian Ibu. 

Untuk standar kerapian ini bisa dibiasakan secara bertahap, kita tidak bisa memaksa si kecil yang belum terbiasa beres-beres untuk mengikuti standar kita. Jadi jangan kecewa ya, moms, jika buku atau mainan si kecil masih berantakan, poin utamanya adalah melatih si kecil supaya terbiasa beres-beres. 

3. Membuat beres-beres terasa menyenangkan. 

Siapapun pasti malas ketika terlalu banyak didikte, disuruh-suruh. Biarkan mereka memiliki kenyamanan dalam memilih pola beres-beresnya sendiri. 

Biasanya anak akan mencontoh apa yang dilakukan orang tuanya, jadi tidak perlu gusar dulu ya moms. Anak-anak bukan pendengar yang baik tapi mereka adalah peniru ulung. 

Selain itu bisa juga menciptakan suasana yang ceria dengan bernyanyi bersama-sama sambil merapikan mainan. Biarkan anak berekspresi. 

4. Menghargai Anak untuk Memutuskan Mainan yang akan disimpan atau masih dipakai bermain. 

Seringkali Ibu tidak sabar ketika melihat mainan berantakan, dan langsung membereskan semuanya tanpa tedeng aling-aling. 

Mengobservasi anak sambil mengajaknya untuk mensortir mainan yang masih ingin dipakai atau langsung disimpan akan membuatnya merasa dihargai dan tidak membatasi kreativitasnya. 

5. Mengapresiasi Anak atas Kerja kerasnya.
 
Mengapresiasi anak merupakan hal yang krusial, hal tersebut membuat mereka merasa puas akan hasil kerja kerasnya, menumbuhkan kepercayaan dirinya dan juga merasa dihargai. 

Walaupun hasilnya tidak sesuai ekspektasi kita, kita bisa menyelipkan nasihat sambil mengapresiasinya. 

Alhamdulillah, di hari ke-2 tantangan lima belas hari zona 2 kelas Bunda Sayang ini, saya mencoba mengajak anak-anak merapikan buku-buku ke raknya. 

Dalam sekali ajakan mereka langsung menyambut positif, terutama si sulung yang kemudian dicontoh oleh adiknya. Melihat respon anak-anak yang begitu bersemangat membuat saya merasa bahagia dan bangga melihat si Abang yang sudah mulai bisa diandalkan. 

Tantangannya saya harus lebih sering mencontohkan bagaimana cara beres-beres yang saya kehendaki agar anak-anak meniru cara beres-beres yang sesuai. 


#harike2

#tantangan15hari

#zona2kemandirian

#pantaibentangpetualang

#institutibuprofesional

#petualangbahagia

Continue reading Tips Mengajak Anak Merapikan Mainannya

Kamis, 01 Oktober 2020

Melatih Kemandirian Anak: Memakai Pakaian Sendiri

Alhamdulillah memasuki tantangan ke-2 kelas Bunda sayang. Tema kali ini adalah melatih kemandirian anak. 

Tantangan kali ini terasa sangat menantang, karena biasanya saya belum memberi lampu hijau untuk anak-anak merdeka belajar. 

Alasannya sederhana: saya belum siap. Entah terbiasa untuk melayani kebutuhan anak, atau belum siap menambah pekerjaan lain seperti jika anak makan berantakan, pakaian dan lantai kotor, atau belum mampu memanage emosi. 

Untuk hari pertama ini, saya melatih si sulung yang sekarang berusia 3 tahun, memakai pakaian sendiri. 

Saya melatihnya di hari pertama karena ini salah satu kebutuhan dasar dalam kehidupannya. Ternyata hasilnya di luar ekspektasi, si Abang lumayan lancar memakai celana dalam ataupun celana bagian luar, dia hanya sedikit kesulitan untuk merapikannya saja. 

Sedangkan untuk memakai baju, masih bingung mencari lubang untuk tangan dan menentukan bagian depan atau belakang pakaiannya. It's a good signal. ^^


Strategi yang saya terapkan diantaranya:

1. Melibatkan Allah dalam setiap aktivitas. Memohon dimudahkan dalam prosesnya, sehingga anak pun menikmati proses belajarnya sebagai sesuatu hal yang menyenangkan. 

2. Memanjangkan rentang sabar, karena semua yang akan dilatih kepada anak adalah hal baru bagi mereka. Bisa karena terbiasa. 

Hal yang terasa mudah bagi kita, belum tentu mudah juga bagi yang baru pertama kali melakukannya. Jadi sebagai Ibu saya berusaha bersikap supportif, mendukungnya dengan berusaha sabar. 

3. Memberikan instruksi yang jelas, dengan memperhatikan kaidah-kaidah komunikasi produktif, terutama KISS (keep information short and simple) dan intonasi. Jangan sampai ketika kita melatih si kecil kita malah menyakiti hatinya dengan kata-kata yang tidak perlu. 

4. Melakukan aktivitas tersebut di tempat yang kondusif, jauhkan dari hal-hal yang bisa mendistraksi anak seperti televisi, mainan, adiknya atau orang yang senang mengajaknya bercanda, dan sebagainya. 

5. Berlatih menggunakan pakaian yang sederhana terlebih dahulu, contoh kaos singlet, celana dalam atau pakaian-pakaian yang longgar, t-shirt, dan lain-lain. Setelah kepercayaan diri anak terbentuk, kita bisa menaikan level kesulitannya. 

Melihat perkembangannya yang bisa memakai celana sendiri saya sangat bangga, walaupun respon Abang masih sangat bingung, tapi dia excited dan juga bangga ketika saya memberikannya apresiasi berupa pujian. 


#harike1

#tantangan15hari

#zona2kemandirian

#pantaibentangpetualang

#institutibuprofesional

#petualangbahagia

Continue reading Melatih Kemandirian Anak: Memakai Pakaian Sendiri

Kamis, 24 September 2020

Pantulan Warna Pelangi

Pantulan warna layaknya cerminan diri, sudah sampai di titik mana kita saat ini? 

Berkomunikasi adalah hal yang kita lakukan setiap hari. Tapi ternyata hal sesederhana bicara pun ada ilmunya. 

Komunikasi produktif adalah ilmu pertama yang kami pelajari di kelas Bunda Sayang, sekaligus materi yang paling saya tunggu. Karena kita membutuhkan komunikasi sebagai dasar kehidupan. 

Setelah melewati tantangan 15 hari kemarin, saya merasakan, bahwa dengan mendengarkan, maka suami akan bercerita. Tentang harinya, tentang kantornya, tentang teman kerjanya, hal-hal kecil yang ingin saya dengar tentangnya tanpa paksaan. 

Selama ini sepertinya saya terlalu mendominasi komunikasi kami sebagai pasangan dengan cerita "bagaimana hariku", berharap suami juga turut menceritakan harinya.

How was your day? Itu adalah kalimat yang selalu ingin saya dengar setiap sebelum kami beranjak tidur. Tapi menariknya kami jarang sekali melakukan pillow talk, berbicara dari hati ke hati. 

Oleh karena itu saya selalu bermurah hati menceritakan apapun tanpa diminta, jika tak bisa berbicara langsung, saya pun sering melakukan monolog dengan menchat suami walau seringnya tanpa balasan. Saya benar-benar suka bercerita tapi sangat tertutup kepada siapa pun kecuali suami.



Dari ilmu komunikasi produktif saya belajar, setiap komunikasi ada "timingnya", perlu melihat bagaimana keadaan hati suami, bagaimana keadaan fisiknya, kebutuhan apa yang saat itu beliau perlukan, dan pentingnya mengenali bahasa cintanya demi kelancaran berkomunikasi. 

Komunikasi produktif juga mengajarkan saya tentang betapa menantangnya berkomunikasi dengan anak-anak. Mereka yang selama ini belum bisa menyampaikan pikiran ataupun perasaannya. Ada satu kalimat yang begitu membekas bagi saya, 

"Mereka mungkin tidak memahami perkataan kita, tapi mereka tidak pernah salah mengcopy."

Hal tersebut benar-benar terefleksikan sempurna dalam diri anak sulung saya. Apa yang sering saya katakan padanya, dia contoh ketika berkomunikasi dengan adiknya. 

Hal tersebut membuat saya semakin berhati-hati, terutama dalam pemilihan diksi. Poin-poin yang disampaikan dalam mencapai komunikasi produktif benar-benar melatih berkomunikasi dengan makhluk kecil yang super unik ini. 

Betapa saya harus merendahkan diri demi setara dengan mereka dalam berkomunikasi, menatap matanya, menyampaikan pesan yang mudah dipahami secara ringkas dan padat. 

Bagaimana tentang menjaga intonasi ketika tanduk dan taring bermunculan ketika melihat tingkah mereka yang kreatif. Terutama kepada anak bungsu saya yang masih berusia 18 bulan. 

Setiap saya bicara, dia selalu menatap lama wajah saya, seolah sedang menerka emosi yang sedang saya rasakan. Jika wajah saya tak ramah, dia akan memanggil saya dengan nada khasnya "Ayaaah…" (Karena dia belum bisa memanggil Ibu, jadi semua orang yang ditemuinya dipanggil Ayah).

Atau kadang memukul wajah saya dan berteriak "eeeh…" ketika saya berakting marah sambil memelototkan mata. 

Tapi jika dia merasa wajah saya sumringah, maka dia langsung menyampaikan keinginannya, misal minta main ke luar atau minta dibacakan buku. Dia yang bisa ratusan kali bertanya, "apa ini?" Terkadang sangat menguji kesabaran. 

Tapi saya sadar otaknya sedang berkembang, dan keingintahuannya adalah sebuah proses dari perkembangan tersebut terutama dalam merekam kosakata dan proses latihannya berbicara. 

Sebagai orang tua terkadang saya terlalu banyak menuntut anak harus begini atau begitu, misal ketika anak-anak masih asyik bermain padahal sudah masuk jam tidur, di sini lah saya belajar, betapa siapapun baik anak-anak maupun orang dewasa sangat tidak suka diperintah, solusinya kita bisa menggantinya dengan pilihan. Atau bagaimana menggali emosi anak dengan pernyataan observasi bukan interogasi. 

Tapi dari semua itu hal yang paling menantang bagi saya adalah berkomunikasi dengan diri sendiri. Bagaimana cara untuk memaintenance pikiran agar selalu positif. Selama ini saya selalu percaya dengan law of attraction, ketika mood saya baik, hal-hal yang baik akan datang, begitupun sebaliknya. Ternyata kata-kata itu lah yang memberikan energi pada diri kita. 

Tantangan 15 hari ini memang sudah berlalu tapi pada praktiknya, kita akan selalu melakukannya sepanjang hidup kita. 

Memang tidak mudah untuk berubah tapi dengan kebiasaan yang terbentuk dari proses pembelajaran kita itulah yang akan membentuk pribadi kita. 

Semoga apa yang kita laksanakan tidak hanya bermanfaat untuk diri sendiri tapi juga untuk pasangan, anak, dan orang-orang di sekitar kita. Semoga pesan kita lebih mudah disampaikan dengan ada komunikasi yang produktif, dan semoga kita bisa merespon kebutuhan pasangan maupun anak dengan bijak dan tanpa ngegas! 


Continue reading Pantulan Warna Pelangi

Kamis, 17 September 2020

Menjaga Fitrah Cemburu Istri

Pagi ini ketika hendak migrasi blog dari wordpress ke blogspot, tiba-tiba menemukan blog suami. Blog tersebut terakhir update tahun 2010. Akhirnya hati tergelitik untuk membaca postingan teratasnya. 

Postingan tersebut berisi semacam puisi tentang keadaan ketika beliau dilahirkan, saat beliau menulis, dan harapan di waktu yang akan datang. Tapi ada sebaris kalimat yang membuat saya menghela nafas panjang. 

"Pastinya tidak sama dengan tangis cinta bodohku yang lalu."

Membayangkan beliau menangis karena "cinta" membuat dada terasa sedikit sesak. Dan berputar kembali rekaman masa lalu tentang sebuah percakapan di Twitter. 

Seorang wanita membalas cuitan suami saya yang menulis "ga ada motor" dengan kalimat "Motor gue ada nih, kak. Masih hafal jalan ke rumah gue kan?" 

Sebenarnya respon suami biasa saja, beliau hanya menjawab "hahaha kejauhan." Tapi tetap saja percakapan tersebut membuat saya cemburu. Ketika saya menyampaikannya pada suami, beliau menjawab. 

"Aku sama dia itu kalau ibarat rumah, kami cuma ngobrol di teras, kalau sama Neng di dalam rumah, lebih privasi. Kami ga ada hubungan apa-apa lagi."

Maternity-Photo-at-Muse-Photography
Foto maternity anak pertama

Klarifikasi beliau masih belum menghilangkan rasa cemburu saya saat itu. Tapi saat ini setidaknya saya belajar. Hal yang lumrah ketika memiliki perasaan cemburu terhadap pasangan selama tidak berlarut-larut dan mengarah pada prasangka dan hal tercela lainnya. 

Saya menyadari rasa cemburu itu hadir karena rasa cinta terhadap suami. Dan itu merupakan hal yang fitrah bagi seorang perempuan. 

Selama bisa mengelola perasaan tersebut dan mengkomunikasikan dengan pasangan, rasa cemburu tersebut sah-sah saja dan yang diharapkan rasa itu bisa menjadi reminder untuk masing-masing pasangan agar kembali mengisi penuh tanki cintanya sehingga rasa cinta tersebut meleburkan rasa cemburu. 

Aku mencintaimu semoga karena Allah, suamiku. Semoga Allah mencintaimu, Dzat yang telah menjadikan engkau mencintaiku. Semoga cinta, kasih sayang, dan rumah tangga kita selalu utuh, penuh dan hidup terpelihara dengan baik sampai Jannah-Nya. Aamiin. Ya Allah Yaa Rahman Rahiim Semoga cinta kami selalu mengarah pada cinta-Mu. 


#harike15

#tantangan15hari

#zona1komprod

#pantaibentangpetualang

#institutibuprofesional

#petualangbahagia

Continue reading Menjaga Fitrah Cemburu Istri

Rabu, 16 September 2020

Sehat Bersama Pasangan

Belakangan ini terjadi drama, pasalnya si Ayah terkena krisis kepercayaan diri, makanya dia membatasi porsi makannya. Selain itu jadi lebih sering menahan lapar ketika jam makan malam tiba.

"Beb, makan yuk!"

Sambil mengelus-elus perutnya, dia meringis, "Gendut, beb."

"Gapapa beb, aku tetep sayang kok, walaupun Ayah gendut. Tapi aku lebih sayang lagi kalau kita olahraga bersama."

Suami hanya tertawa mendengarnya. Program hidup sehat ini sebenarnya sudah sering saya gaungkan, tapi realisasinya sangat sulit sekali diterapkan, suami yang bekerja 6 hari dalam seminggu lebih memilih hari liburnya digunakan untuk beristirahat. 

Beliau mengklaim bahwa waktu luangnya lebih diprioritaskan untuk bermain dengan anak-anak atau istirahat. Padahal olah raga bersama tidak begitu memakan waktu. Dan anak-anak pun senang dilibatkan dalam aktivitas orang tuanya.

Beberapa kegiatan yang saya sortir untuk hidup sehat diantaranya:

1. Makan makanan dengan gizi seimbang. Ini menjadi prioritas utama karena untuk membentuk daya tahan tubuh, sehingga tidak mudah sakit.

2. Olah raga ringan minimal 5 menit perhari. Khusus untuk mengecilkan perut kami melakukan plank. Sedangkan untuk aktivitas lainnya, kadang melakukan jalan santai di pagi hari sambil menghirup udara segar, dan kadang-kadang senam aerobic atau yoga bersama Kakak. 

3. Demi kesehatan jantung, kami selalu tidur lebih awal dan bangun lebih pagi.

4. Tidak merokok atau mendekati asap rokok. Siapapun pasti tahu dampak dari merokok baik aktif maupun pasif kan?

5. Kegiatan yang masih belum terlaksana diantaranya adalah ikut kelas memanah dan berkuda. Hal ini masih belum bisa terealisasi dikarenakan pandemi.

6. Lebih banyak senyum, karena selain senyum itu sedekah, senyum membantu kita menata hati menjadi lebih positif dan semangat beraktivitas.

7. Mengagendakan traveling ke tempat yang belum pernah dikunjungi minimal setahun sekali


Bukan cuma kesehatan badan tapi jiwa pun perlu diperhatikan

8. Camping ke tempat yang hijau dan sejuk minimal setahun sekali. Hal ini dimaksudkan untuk mengajarkan anak tentang sifat rendah hati, karena ketika bercengkrama dengan alam, kita akan diingatkan akan kebesaran Tuhan, dan betapa kecilnya diri ini sehingga tak patut untuk menyombongkan diri.

Mendekat pada-Nya melalui aktivitas alam

Banyak orang yang bahagia ketika menggendut bersama pasangannya, karena tandanya mereka berhasil mengurus pasangannya dengan baik, atau ciri hidup mereka makmur. 

Eitsss namun tidak begitu bagi kami, bukan menggendut bersama yang kami cari, tapi mari sehat bersama! 

Karena menjadi sehat adalah kekayaan yang sesungguhnya. Karena menjadi sehat tanda kita sayang pada diri kita dan pasangan, karena menjadi sehat bukti syukur kita terhadap Tuhan yang telah memberikan jiwa dan badan dalam keadaan baik. 

So, mari kita semangat hidup sehat! Jangan hanya menyehatkan diri sendiri tapi juga ajak pasangan, saudara, dan anak-anak kita :)

#harike14
#tantangan15hari
#zona1komprod
#pantaibentangpetualang
#institutibuprofesional
#petualangbahagia






Continue reading Sehat Bersama Pasangan

Selasa, 15 September 2020

Bahagia Tanpa Gadget

"Kerjain tugas dulu, main hp mulu, gregetan banget gua mah."

Itu adalah sekilas cuplikan dari keseharian yang sering terjadi di rumah. Tinggal bersama saudara suami yang lain, memang memiliki banyak kelebihan maupun kekurangan. 

Saya tidak akan mengkritisi tentang pola asuh yang dipilih orang lain, karena saya percaya masing-masing orang tua punya pertimbangan sendiri tentang pola asuh yang terbaik bagi anaknya. 

Kita tidak bisa memaksakan orang lain mengikuti idealisme kita. Kecuali suami, karena kami membangun rumah tangga bersama, maka ada banyak hal yang harus diselaraskan, terutama tentang visi misi keluarga dan juga tentang pola asuh anak.

Bagi saya, berat rasanya memberikan anak gadget. Saya tidak akan mengupas tentang dampak negatif atau risiko tentang penggunaan gadget kepada anak balita. 

Tapi ini yang masih menjadi PR bagi saya dan suami. Menurut suami tidak masalah memberikan anak tontonan selama kontennya positif. 

Bagi saya, tidak masalah memberikan anak tontonan konten positif selama waktunya dibatasi. Dan hanya televisi atau laptop, bukan handphone. 

Hal ini, masih belum mendapat titik temu. Akibatnya, anaklah yang menjadi korban. Sekarang anak bungsuku terlihat mengarah kepada gadget addict. Dia jadi lebih mudah tantrum ketika saya menghentikan aktivitasnya menonton. 

Wajar, karena anak-anak bingung, "kenapa Ayah mengizinkan aku, tapi Ibu melarang aku?"

Poin utamanya sebenarnya terletak pada kami sebagai orang tuanya. Saya sebagai Ibu juga merupakan seorang yang gadget addict, yang mungkin secara tidak sadar memberikan contoh negatif kepada anak-anak. 

"Kenapa Ibu boleh main hp, sedangkan aku tidak?"

Sedih rasanya melihat anak menjadi acuh tak acuh ketika terpapar layar. Mereka seolah kehilangan kepekaan terhadap lingkungan sekitar, dipanggil diam saja, hanya terus fokus menonton. 

Belum lagi ketika menonton, tubuh mereka menjadi kurang aktif, karena hanya duduk diam. Saya lebih suka anak-anak yang aktif, tidak masalah jika mereka berlarian kesana kemari, mengacak acak rumah, walaupun risikonya mungkin akan ada banyak baret di tubuh anak-anak karena terjatuh, atau akan butuh lebih banyak energi untuk membereskan rumah. 

Tidak masalah, karena ada hal lain yang membuat seorang Ibu merasa puas dan lelahnya hilang, yaitu senyum manis anak-anaknya ketika bahagia bermain.




"Wahai diri, tetap semangat, ini bukan idealisme yang buruk, mempertimbangkan efek jangka panjang gadget terhadap tumbuh kembang anak-anak, kamu tidak boleh lelah mengingatkan suami dan orang-orang sekitar agar tidak mudah memberikan gadget pada anak-anakmu. Biarkan mereka tumbuh dengan fitrahnya, bahagia bermain tanpa pengaruh gadget. Ya Allah ya Hafidz, Engkaulah sebaik-baik penjaga, aku titipkan mereka pada penjagaanMu."



اِنىِّ Ø£َعِÙŠْØ°ُÙƒَ بِÙƒَÙ„ِÙ…َاةِ اللهِ التّامَّØ©ِ Ù…ِÙ†ْ ÙƒُÙ„ِّ Ø´َÙŠْØ·َانٍ ÙˆَÙ‡َامَّØ©ٍ ÙˆَÙ…ِÙ†ْ ÙƒُÙ„ِّ عَÙŠْÙ†ٍ لاَÙ…َّØ©ٍ
.  (رواه البخارى)

Sesungguhnya aku memperlindungkan kepada-Mu (anak ini) dengan kalimat-kalimat Allah yang Sempurna, dari segala gangguan syetan dan gangguan binatang, serta gangguan sorotan mata yang dapat membawa akibat buruk bagi apa yang dilihatnya 💞"



#harike13

#tantangan15hari

#zona1komprod

#pantaibentangpetualang

#institutibuprofesional

#petualangbahagia




Continue reading Bahagia Tanpa Gadget

Senin, 14 September 2020

Refleksi dalam Setiap Kesempatan

Semua mata tampak menatap geram terhadap sinetron di salah satu stasiun televisi. Meski ceritanya kadang di luar nalar tapi suguhan tayangan tersebut tetap menghibur terutama ketika salah satu sepupu saya berkata,

"Mamang ketemu Tante Riska di Indosiar, ya?"

Semua orang tergelak ketika mendengar celotehannya, lantas saya bertanya,

"Memangnya kenapa, can?"

Ibunya yang tak kalah geli pun ikut menanggapi, "Mamang sama Tante Riska ketemu di Gunung, emang kenapa sih?"

"Soalnya Tante Riska sabar banget, kata Ibu aku kalau mau istri yang sabar, cari aja di Indosiar."


Kontan semua tertawa. Perut saya pun sampai sakit karena tertawa. Begitu polosnya pemikiran seorang anak kecil. Suasana menjadi begitu hangat oleh gelak tawa sampai ada satu sahutan.

"Sabar apaan, orang di rumah marah-marah terus sama anaknya."


Deg.


Semua orang bingung menanggapi pernyataan tersebut. Suasana menjadi kaku dan canggung. Entah apa tujuan kakak ipar saya melontarkan kalimat tersebut. 

Hati saya yang tadinya merekah tiba-tiba seperti terkena rebound. Seolah ketika label sabar dilekatkan pada saya, justru di detik itu pula, Allah ingin menguji kesabaran saya XD


Ketika itu saya hanya menganggapnya angin lalu. Tapi ketika sampai di rumah, saya kembali terngiang oleh kalimat tersebut. Apakah iya kalau selama ini saya terlalu sering marah-marah terhadap anak? 

Karena siapapun bisa melihat semut di seberang lautan tapi tak dapat melihat gajah di pelupuk matanya. Saya pun muhasabah. 

Tapi satu hal yang berani saya klarifikasi, semarah apapun saya terhadap anak, saya selalu berusaha tetap menjaga intonasi dan tidak membentak anak-anak.


Dari kejadian tadi saya melakukan refleksi:

  1. Belajar untuk tidak merusak suasana, terutama ketika sedang berkumpul dengan keluarga besar, karena itu adalah moment untuk menguatkan bonding.
  2. Belajar untuk tidak hanya berbicara yang enak didengar tapi juga menyenangkan hati. Selain kalimat yang santun, membahagiakan orang lain dengan kalimat sederhana, selama bukan kebohongan yang mengada-ada itu tidak mengapa.
  3. Menasihati dikala sepi. Jika memang ada sesuatu yang salah pada saudara, pasangan, atau anak, ada baiknya kita menegurnya secara pribadi bukan ketika sedang berkumpul, karena bisa jadi itu menghinakan orang yang kita tegur.
  4. Selalu perbaiki manajemen emosi, karena orang yang sakit akan jauh lebih mudah marah dibanding orang yang sehat. Jika fisik kita baik, tapi kita mudah terpancing emosi, tanyakan kabar hati.
  5. Menata hati terhadap point of view orang lain. Tidak perlu terlalu overthinking terhadap apa yang orang lain katakan. Seperti hadits:

"Jangan menjelaskan dirimu terhadap siapapun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu, dan yang membencimu tidak akan percaya itu." (Ali bin Abi Thalib)

Atau reminding apa yang dikatakan oleh suami setiap diri ini merasa inferior, 

"It's okay, just be yourself!" 

Atau 

"Boleh sedih tapi ga boleh nyerah." 

Kalimat-kalimat itu selalu tertanam kuat di sanubari agar saya selalu bisa mencintai diri saya apa adanya dan selalu bangkit ketika keadaan tidak sesuai harapan, it's okay not to be okay, selama saya bisa kembali bangkit dan berjuang. 

Menjadi sedih, menjadi lemah, adalah hakikat manusia, karena hanya Allah Al Aziz dan Al Jabbar yang Maha Gagah dan Perkasa.


Cheer you up! ^^



#harike12

#tantangan15hari

#zona1komrod

#pantaibentangpetualang

#institutibuprofesional

#petualangbahagia








Continue reading Refleksi dalam Setiap Kesempatan